KERAJAAN JEUMPA
Latar Belakang
Teori tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini
masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun
non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada teori
awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi di Nusantara,
para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung Teori Gujarat, Teori Parsia dan Teori Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini
untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang
penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih
mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab)
hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori
Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold,
Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka.
Arnold menyatakan para
pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur
sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak
terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka
terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila
mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir
perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah
pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan
dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan
lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen
Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya
eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan
bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk
Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam
penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir
berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i.
Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari
Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas
menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat
sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor
dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding
dengan Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji
dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di
Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang
didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.
Hamka dalam pidatonya
di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di
Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap Teori Gujarat. Teorinya
disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab,
khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya
Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang
menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal
dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan
Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka
menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan
mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat
perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang
mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka
lebih tajam lagi terhadap masalah -mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu
Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada
abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad
VII.
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van
Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski
teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di
Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua
sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka).
Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi,
bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India)
dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang
orang Arab kala itu.
Berdasarkan Teori Mekkah inilah kemudian, para ahli sejarah
Islam menyimpulkan bahwa Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan
Perlak. Di antaranya adalah sebagaimana dikemukakan pakar sejarah peradaban
Islam asal Aceh, Prof. A. Hasymi. Berdasarkan naskah Idhar al-haqq fi
Mamlakat Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi,
Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah
Al-Asyi, dan Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, A. Hasymi menyatakan
bahwa Kerajaan Perlak, Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang
didirikan pada tanggal 1 Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin
Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. Teori ini kemudian banyak didukung oleh
cendekiawan Nusantara dan dimasukkan dalam buku teks pengajaran Perguruan Tinggi.
Identifikasi Masalah
Teori yang dikemukakan A. Hasymi dan para pendukungnya
sampai saat ini tentang Kerajaan Perlak sebagai Kerajaan Islam pertama di
Nusantara hanya didasarkan pada sumber-sumber literatur yang sangat terbatas.
Terutama sumber-sumber yang ditulis oleh para pakar sejarah Islam tanpa
melibatkan pakar-pakar lintas pengetahuan yang telah mengadakan penelitian
masalah tersebut atau yang berhubungan dengannya dengan berbagai pendekatan,
baik secara geografis, antropologis, sosiologis, etimologis, dan bidang-bidang
keilmuan lainnya yang telah berkembang dengan pesatnya saat ini.
Sebagai sebuah teori yang dikemukakan pada zamannya, maka
pendapat A.Hasymi dengan para pendukungnya tidak dapat disalahkan,
mengingat sangat terbatasnya referensi pada zaman beliau. Demikian juga akibat
menurun drastisnya minat intelektualisme terhadap kajian-kajian tentang Islam
di Aceh menyusul keadaan konflik yang berkepanjangan. Bahkan tidak sedikit para
cendekiawan Muslim yang tengah mengadakan penelitian tentang keislaman di
sekitar Aceh dicurigai oleh aparat keamanan dengan berbagai alasan yang
dicari-cari, seperti apa yang diceritakan Prof. Hasbi yang hanya mengadakan
penelitian tentang dayah, harus berhadapan dengan aparat. Apalagi sejak Aceh
bergolak, para peneliti asing sangat dibatasi kegiatannya di Aceh yang telah
mengakibatkan mundurnya penelitian ilmiyah dalam segala bidang, termasuk
tentang sejarah Islam di Aceh.
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terutama kemajuan
teknologi, teori-teori tentang sejarah akan terus berkembang, sebagaimana
teori-teori pengetahuan lainnya dengan ditemukannya teori-teori baru yang
didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.
Sebagaimana halnya teori-teori tentang masuknya Islam ke Nusantara terdahulu
yang terus menerus dikoreksi dari Teori Gujarat dikoreksi Teori Persia dan
terakhir dikoreksi dengan Teori Mekah atau Arab. Maka dengan ditemukannya
data-data terbaru yang lebih akurat, berdasarkan kajian dari berbagai sumber
bidang ilmu pengetahuan, maka teori tentang Kerajaan Islam pertama di Nusantara
perlu dipertanyakan lagi keabsahannya. Apakah memang Kerajaan Perlak yang
didikan oleh Maulana Abdul Aziz pada tahun 804 adalah kerajaan Islam pertama di
Nusantara.
Tujuan
Dan Metodologi
1.
Teori
Hubungan Arab-Cina
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok
juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625
M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau
sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada
bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah
perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan
Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa
seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir
Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu
disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan
untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun
kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’.
Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut,
duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah
dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang
pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Para pengembara Arab ini tak
hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur
Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia,
terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari
rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada
sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18
duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa
perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat,
misalnya menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M,
seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri
Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak).
2.
Teori
Barus-Fansur Aceh
Barus-Fansur adalah tempat yang
dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau
al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan
China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan.
Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti)
kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Masyarakat pra-Islam telah
mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan
kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya
Nabi Muhammad SAW.
Al-Kindi, salah seorang
intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting
untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu
dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang
lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman
Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi
dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.
Ibnu Sina atau
yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang
terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib,
mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang
tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver,
obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika
kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan
ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan
kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai
efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan
kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak
cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal
racun, khususnya racun panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan
terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar
kuning, tetapi lebih kuat dan lebih bermanfaat.
Istilah Lambri dan beberapa versi
lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal
tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada
pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku
Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip
tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai
Lambri, "teluk Lambri".
Chau Ju-kua
tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu
dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat
berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus
melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan
dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang
menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan
daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan
titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera
India ke Sri Langka.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang ahli Georafi dan Gubernur
Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga
telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera yang menjadi jalan ke
Tiongkok terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang
diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan
bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar
5000 tahun lalu.
3. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an
Hubungan
erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa
kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan wahyu
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat
Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat
di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia
yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan
berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf
seperti Nabi Muhammad dapat menbuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya
bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung
sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang,
pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah.
Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an. Telah
disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab,
sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah
bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer.
Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari
bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan
dimengerti oleh masyarakat Arab.
Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia
Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus
adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer
yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa
penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat
pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam teori
terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada
di sekitar Lamuri-Aceh.
Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5
menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari
gelas, minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya
masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan
lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan,
nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada
yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak
dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan,
wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia
Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli
bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena
tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan
demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah
kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .
Kata "kafur",
menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar kata
"kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih.
Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal
dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan
hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga
komoditi yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara.
Data Awal Mengenai Kerajaan Jeumpa Aceh
Kerajaan
Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim
Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan
yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di
sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat
sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di
desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot
Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang
padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak
di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari
Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong
atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang
diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan
yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang
peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca
jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang
panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah
ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan
kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan
rindang di sekitarnya.
Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri
salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang
Meurah. Datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat
Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India
belakang (Parsi) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui
laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad ke VIII Masehi dan negeri ini sudah
dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina,
India, Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan
agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena
tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan
dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah
dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah
kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama
negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya
harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti
kemenangan, sama dengan Jayakarta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.
Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang
dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao,
Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh
seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang
kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri
Duli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri
Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam
Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi,
Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara
sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan
lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri
Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.
Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh
Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal
Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang
juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam
Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau
juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri
al-Singkili).
bumi Shahrnawi
(Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah
Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas,
Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah
Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah
salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak,
bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805
yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul
Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai
dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri,
mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi
pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam
Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan
teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di
Nusantara.
Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusi
dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama
di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang
dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam
Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah
Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat
persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim
di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran
banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita
setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia
dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam
Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan
ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar
Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi,
pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan
mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi
ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi
Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746)
dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai
raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi
ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah
tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang
melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar
di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat
sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi,
karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam
naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah
Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa
pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan
Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin
Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah
yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang
berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin
Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan
diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri
Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina.
Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang
pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi termasuk
Muhammad bin Ja'far Shadiq segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak
pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi
kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya,
Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul
Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam
Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Jadi jelaslah bahwa keberadaan Kerajaan Perlak, tidak
terlepas dari peranan 2 orang tokoh sentralnya pendirinya, yaitu Meurah Syahri
Nuwi dan saudarinya Makhdum Tansyuri yang keduanya berasal dan dilahirkan di
Kerajaan Jeumpa yang dipimpin dan didirikan oleh ayahnya, Pangeran Salman
al-Farsi. Sebelum Kerajaan Perlak ada, maka lebih dahulu telah muncul Kerajaan
Jeumpa, yang menjadi sebab musabab keberadaan Kerajaan Perlak. Maka dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Islam pertama di Nusantara bukanlah
Kerajaan Perlak sebagaimana dinyatakan A. Hasymi dengan para pendukungnya.
Namun dari fakta dan data yang dikemukakan tersebut, sudah ada kerajaan yang
lebih awal, yaitu Kerajaan Jeumpa yang terletak di sekitar Kecamatan
Jeumpa Kabupaten Bireuen NAD saat ini.
Sebuah Hipotesa Dan Kesimpulan Awal
Dari
beberapa teori dan data awal yang dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa proses Islamisasi ke Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya,
ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab
yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia,
Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat
pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki
perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-Fansur,
Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.
Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah
al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang
gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke
negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah
para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu
walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai
keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai
pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih
terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian
dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan
kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia
yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang
memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah
persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak
lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung
pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka,
yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-Melayu
dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam
bahasa Arab pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan pendatang dari
Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi
Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha.
Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di
Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu
keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154
Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat
Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa,
Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor
pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak
saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan
pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar